Wednesday, August 10, 2011

TKI, Terpaksa Menjadi Pahlawan

Oleh Ade Riyawan

Apakah benar mereka itu pahlawan? Atau memang karena ketidakmampuan kita, sebagai negara, membuat kesejahteraan yang merata, sehingga ‘harus’ bagi mereka mengadu nasib di negeri orang. Tentu sebenarnya bagi mereka, menjadi buruh dan pembantu rumah tangga di negeri orang adalah pilihan terakhir.

Ruyati binti Satubi yang meninggal akibat hukum pancung oleh pemerintah Arab Saudi, menambah daftar panjang korban Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Penghasilan menggiurkan dan iming-iming kemakmuran yang tidak mungkin didapatkan dengan bekerja di Indonesia, membuai hati setiap orang untuk menggapainya.

Kala itu tahun 1998, Ruyati pertama kali mengazamkan niatnya untuk merantau ke negeri orang. Beratnya imbas krisis ekonomi yang merambah level grass root, seperti Ruyati, tidak membuatnya mengeluhkan biaya kuliah anak pertamanya yang saat itu harus ditebus dengan menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI). Pada 2008, Ruyati kembali mengadu nasib, dengan harapan besar mampu mendapatkan bekal untuk hari tuanya.

Ruyati tidak sendiri, diperkirakan sekitar lima puluh ribu TKI mengalami permasalahan di luar negeri. Bicara masalah TKI, tidak bisa kita lepaskan dari kondisi sosial ekonomi mereka.

Persaingan yang berat dalam bursa tenaga kerja Indonesia, membuat mereka mencari nafkah di luar negeri. Bahkan Indonesia kini menempati posisi kedua setelah Filpina sebagai negara terbanyak pengirim tenaga kerja ke luar negeri. Bagaimanakah sebenarnya peran TKI bagi negara?

Gaji yang mereka kirimkan ke Indonesia membantu sumbangan devisa. Data Bank Indonesia (BI) menyebutkan remitansi (pengiriman uang) TKI pada 2004 mencapai US$1,5 miliar lalu naik drastis menjadi US$5,5 miliar pada 2005, bahkan pada 2008 mencapai level US$6,617 miliar atau sekitar Rp60 triliun. Untuk 2011, pengiriman uang dari TKI selama kuartal pertama 2011 mencapai US$1,6 miliar atau sekitar Rp14 triliun. Rata-rata TKI mengirimkan uang US$500 juta atau sekitar Rp4,5 triliun per bulan ke Indonesia. Karena besarnya sumbangan devisa itulah, mereka disebut pahlawan devisa.

Apakah benar mereka itu pahlawan? Atau memang karena ketidakmampuan kita, sebagai negara, membuat kesejahteraan yang merata, sehingga harus bagi mereka mengadu nasib di negeri orang. Tentu sebenarnya bagi mereka, menjadi buruh dan pembantu rumah tangga di negeri orang adalah pilihan terakhir.

Sudah rahasia umum bahwa sebagian besar TKI adalah mereka yang terdesak oleh kondisi sosial ekonomi. Setelah lulus sekolah, mereka tidak mempunyai skill yang dibutuhkan oleh pasar tenaga kerja, akhirnya menganggur. Bagi mereka pilihan terbaik adalah mengadu nasib menjadi TKI, walaupun harus beradu di sektor informal, sebagai buruh bangunan ataupun pembantu rumah tangga.

Seandainya saja, pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6 persen itu merupakan pertumbuhan berkualitas yang mampu menurunkan gini ratio kurang dari 0,3 (artinya tingkat ketimpangan rendah), tentu tingkat kemiskinan kita saat ini bisa lebih rendah dari 12,49 persen. Sekadar info, saat ini tingkat ketimpangan pendapatan berada pada level sedang, dengan nilai gini ratio 0,378.

Masih menggunakan kata ‘seandainya’, capital inflow yang tinggi pada 2011 ini, bisa dirasakan sektor riil melalui pembukaan pabrik-pabrik baru, tentu lapangan pekerjaan akan terbuka lebar. Sekitar 200 pekerja akan terserap dari setiap pabrik baru yang didirikan.

Masih ada lagi tambahan untuk kata ‘seandainya’, harga gabah dapat dijaga pada nilai yang menguntungkan petani tanpa merugikan konsumen, maka 38 persen penduduk Indonesia yang saat ini bekerja pada sektor pertanian akan bersorak sorai. Dan tentu sektor pertanian akan menjadi daya pikat tersendiri bagi para pencari kerja.

Indonesia adalah negara agraris mencakup wilayah yang luas, hampir 8 juta km2, dengan 24 persennya berupa daratan dan 76 persennya lautan.. Tapi mirisnya, saat ini kita juga menghadapi ancaman kerawanan pangan, baik berupa komoditi inti seperti beras dan gandum, maupun koditi pelengkap seperti kedelai. Dengan banyaknya jumlah penduduk saat ini, seharusnya SDA yang ada bisa kita olah dengan baik. Tapi hal itu tidak mungkin terjadi jika SDM kita yang memasuki usia produktif malah ‘terbang’ ke luar negeri.

Sebaik-baik hujan emas di negeri tetangga, masih lebih baik hujan batu di negeri sendiri. Seburuk apakah kondisi negeri ini, apakah ada yang lebih buruk dari hujan batu? Hingga pilihan terakhir, menjadi buruh dan pembantu di negeri orang, adalah pilihan terbaik saat ini.

Momentum Perubahan Ketenagakerjaan

Oleh Ade Afzan *)

Perdebatan calon orang nomor 1 di negeri ini sudah memasuki area hangat-hangat kuku. Berbagai pemaparan visi dan misi mulai dikumandangkan dalam meraih simpati massa. Salah satu topik yang hangat dibicarakan adalah ketenagakerjaan, yang seakan hanya menjadi bahan pembicaraan di meja makan, tanpa ada perubahan mendasar dalam mengatasinya. Momentum lima tahunan adalah waktu yang tepat untuk melakukan perubahan mendasar dalam mengentaskan ketidakberdayaan tenaga kerja di negeri ini.

Tenaga Kerja yang Rentan

Indonesia memiliki karakter ketenagakerjaan yang unik dengan kondisi yang beragam. Sampai saat ini pekerja yang mendominasi pasar tenaga kerja nasional adalah pekerja informal yang mancapai 69,49 persen dari total penduduk yang bekerja (BPS, Februari 2009). Pekerja informal adalah mereka yang mempunyai status bekerja sebagai pekerja bebas (baik pertanian atau non pertanian), berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap, dan termasuk dalam kategori ini adalah pekerja keluarga.

Pekerja informal di Indonesia mempunyai karakteristik yang unik dengan tingkat pendidikannya yang rendah. Bisa dikatakan sektor informal ini adalah pelarian dari mereka yang tidak dapat masuk pada sektor formal atau bisa dibilang karena keterpaksaan sehingga mereka masuk sektor informal. Hal ini dapat menjelaskan fenomena kenaikan pengangguran yang tertahan pada kondisi global economic slowdown. Pekerja yang terkena imbas penurunan ekonomi akan cenderung beralih pada pekerjaan seadanya untuk menghidupi ekonomi keluarga, yang dengan terpaksa masuk pada pekerja informal.

Permasalahan ketenagakerjaan tidak terbatas pada jumlahnya, secara kualitas pekerja dengan pendidikan SD ke bawah masih tetap tinggi, data BPS menyebutkan pada Februari 2009 jumlahnya masih sekitar 55,05 juta orang atau sekitar 53,05 persen. Kualitas tenaga kerja yang rendah tentunya harus menjadi perhatian yang serius dari pemerintah sehingga ekspor tenaga kerja kita tidak hanya sebatas pada pengiriman pekerja kasar demi sekadar mendapatkan tambahan devisa, melainkan lebih mengarah pada ekspor pekerja profesional yang selain menambah devisa juga menjadi kebanggaan bagi bangsa.

Dalam teori ekonomi, manusia lebih cenderung diartikan sebagai modal (human capital) untuk memproduksi suatu output/produk. Hal ini didasarkan pada fungsi kodrati manusia sebagai individu mahluk sosial yang diberikan akal dan pikiran sehingga dapat mengelola, mengatur, dan menguasai berbagai modal lain untuk mendukung terciptanya output yang diinginkannya. Posisi manusia sebagai pengelola dari modal ekonomi yang lain, tentunya bukan posisi yang sembarangan. Posisi ini membutuhkan berbagai keahlian dan kompetensi dalam menjalankannya. Manusia yang berkeahlian dan kompetensi rendah tentunya tidak akan dapat mengelola berbagai modal yang ada.

Senada dengan hal di atas, teori sosial kependudukan menempatkan penduduk pada suatu negara sebagai modal dalam pembangunan. Indonesia, dengan jumlah penduduk yang lebih dari 230 juta, mempunyai tugas yang berat untuk menjadikannya sebagai modal dalam pembangunan, sebagai pengelola yang berkeahlian dan kompetensi tinggi. Kegagalan dalam perencanaan kependudukan akan menjadikan semakin banyaknya modal manusia yang kemudian menjadi beban tanggungan dalam pembangunan. Hal inilah yang mendasari pentingnya program perencanaan kependudukan pada suatu negara. Program kependudukan berpijak pada data kependudukan yang selama ini dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) berupa pendataan penduduk lengkap yang sering disebut sebagai sensus penduduk. Pada 2010, BPS akan kembali menyelenggarakan Sensus Penduduk yang akan menjadi dasar pijakan berbagai program pemerintah selama sepuluh tahun berikutnya.

Pemberdayaan Ke-Bhinekaan

Berbagai masalah ketenagakerjaan nasional pada dasarnya berawal dari dua hal pokok, yaitu kependudukan dan pendidikan. Pertama, masalah kependudukan dengan jumlah penduduk yang berlimpah dapat dipandang sebagai modal jika di-mantain dengan baik, dan jika diperlakukan sebaliknya maka penduduk dapat menjadi beban bagi pembangunan.

Kedua, masalah krusial yang perlu menjadi perhatian serius adalah ”gap” yang terjadi antara dunia kerja dan pendidikan yang tercermin dari tingginya angka pengangguran terdidik di Indonesia. Sebenarnya sungguh aneh anggapan bahwa kesempatan kerja di negeri ini kurang. Nyatanya, banyak perusahaan yang rela mengeluarkan cost untuk iklan lowongan kerja. Kenapa mereka (perusahaan) tidak langsung comot saja para lulusan sarjana, bukankah banyak sekolah-sekolah dan perguruan tinggi di negeri ini. Kenapa hal ini terjadi, sebenarnya disebabkan oleh ketidaksiapan output pendidikan untuk dapat langsung dipakai dalam dunia kerja, sehingga terciptalah cost tambahan untuk pelatihan tenaga kerja baru.

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam, orang Jawa bilang gemah ripah loh jinawi. Sumber daya alam ini adalah sumber yang bhineka dengan tersebarnya potensi pada ribuan pulau di Indonesia. Setiap propinsi memiliki keunggulan masing-masing yang berbeda satu dengan lainnya, misal Bangka dengan timahnya, Jawa dengan potensi pertaniannya dsb. Dengan potensi sedemikian besar dimiliki Indonesia, sebenarnya mustahil kita punya pengangguran di negeri ini.

Kondisi yang beragam ini menjadi penentu kebutuhan SDM yang beragam juga. Wilayah dengan potensi pertanian tentunya akan lebih efektif jika mengembangkan SDM pada bidang pertanian. Wilayah dengan potensi pertambangan, akan lebih efektif jika mengembangkan SDM pada bidang pertambangan. Bayangkan seandainya setiap wilayah di negeri ini mampu mengenali dan menggali potensi daerahnya kemudian mampu menciptakan para ahli sesuai dengan potensi daerahnya masing-masing, yang harapan akhirnya adalah tidak akan ada lagi tenaga kerja yang kehilangan ”tenaga” kemudian menyerah pasrah tidak berdaya karena tidak punya daya saing yang tinggi.

(Dimuat di Harian IndoPos)


Nasib Petani yang “Terlu(pa)ka(n)”

Oleh Ade Afzan

Petani, khususnya di Indonesia, selalu mendapat predikat golongan akar rumput dalam piramida strata ekonomi. Mempunyai jumlah populasi yang banyak dengan pendapatan yang relatif kecil, pendidikan yang rendah, kondisi perumahan yang memilukan, dan minimnya akses terhadap fasilitas kesehatan selalu akrab di telinga kita saat membicarakan masalah petani.

Apakah menjadi suatu hal yang mustahil jika petani dapat hidup enak dengan pendapatan yang tinggi, tingkat pendidikan tinggi, dan segala bentuk kesejahteraan yang memang selayaknya mereka dapatkan sebagai suatu kaum yang selalu meluangkan diri untuk menyediakan “makanan” bagi kaum yang lain.

Pertanian dan Pembangunan Ekonomi

Salah satu karakteristik dalam pembangunan ekonomi adalah pergeseran jangka panjang populasi dan produksi dari sektor pertanian menjadi sektor industri dan sektor jasa. Hanya sebagian kecil masyarakat dalam negara industri yang hidup dari sektor pertanian (Lynn, 2003). Pembangunan ekonomi pada negara-negara maju, merupakan lanjutan dari keberhasilan proses pembangunan pertanian. Jepang dan Taiwan, sebagai model negara maju Asia, mendahului keberhasilannya pada pertanian yang kemudian diikuti kemajuan industri.

Di Indonesia, sebagai negara yang sedang berkembang, pertanian mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi. Pertama, pertanian sebagai penyedia suplai pangan nasional. Peran ini sebenarnya hanya peran bawaan dari produk yang dihasilkan pertanian, namun peran ini menjadi kunci dari pembangunan ekonomi suatu negara. Suplai pangan yang lancar dengan kualitas yang unggul, tentunya akan menciptakan kualitas SDM yang unggul sebagai modal dalam pembangunan ekonomi.

Kedua, sebagai penyedia kesempatan kerja. Indonesia, sampai detik ini masih menyandang gelar sebagai negara agraris dengan sebagian besar penduduknya bekerja pada sektor pertanian, yaitu sekitar 41% dari total tenaga kerja Indonesia (Statistik Indonesia 2008, BPS). Kondisi ini tentunya bisa dipandang sebagai modal yang kuat untuk menapakkan kaki menuju ketahanan pangan nasional. Tapi di sisi lain, perhatian yang lebih juga harus diberikan, mengingat jumlah tenaga kerja pertanian yang banyak tanpa diimbangi dengan kompensasi yang berimbang pada petani akan menyebabkan pergeseran tenaga kerja pada sektor lain yang lebih menjanjikan.

Upah tenaga kerja sektor pertanian dapat pula mengalami fenomena “inflasi upah”. Yaitu keadaan dimana terjadi permintaan dan penawaran yang tidak berimbang antara kebutuhan tenaga kerja pertanian dan ketersediaannya. Sementara kebutuhan pangan selalu ada, selama manusia masih ada, yang berarti kebutuhan akan tenaga pertanian juga ada, tapi tidak diimbangi dengan ketersediaan tenaga pertanian yang memadai.

Ketiga, penyumbang pada konsumsi produk industri. Perkembangan pertanian modern mengarah pada penggunaan produk-produk industri sebagai katalisator yang mempercepat proses produksi pertnian. Pola ini sebenarnya adalah bentuk simbiosis mutualisme antara sektor pertanian dan industri, dimana percepatan pembangunan industri yang berimbang dengan sektor pertanian akan menjadi kekuatan handal dalam mendongkrak pembangunan ekonomi nasional. Sehingga bisa dipahami bahwa sektor pertanian bukan hanya sekadar “batu loncatan” untuk menuju sektor industri.

Keempat, sebagai penyumbang ekspor. Data BPS menunjukkan ekspor hasil pertanian menyumbangkan peran 4,50 persen terhadap total ekspor periode Januari-Februari 2009, atau senilai US$ 640,4 juta.. Kemudian yang perlu menjadi catatan adalah peningkatan nilai ekspor hasil pertanian sebesar 2,42 persen dibanding periode yang sama tahun 2008, dimana komoditas lain mengalami penurunan ekspor ternyata komoditas pertanian masih mengalami kontraksi positif walau hanya sedikit.

Objek Kampanye

Posisi tawar yang tinggi dari sektor pertanian seakan tidak diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan petani. Nilai Tukar Petani (NTP) Februari 2009, walau mengalami kenaikan 0,48% dibanding bulan sebelumnya, tapi nilainya (98,77) masih di bawah 100, yang mengindikasikan petani mengalami defisit, dimana kenaikan harga produksi relatif lebih kecil dibanding dengan kenaikan harga barang konsumsinya. Memang dilihat dari siklus tahunannya nilai ini wajar karena bertepatan dengan masa panen dan mungkin imbas dari krisis global, tapi tentunya akan menjadi harapan besar bagi petani agar harga yang tercipta dari mekanisme pasar akan bisa lebih stabil. Supaya pertanian tetap menarik dibutuhkan kenaikan atau stabilitas nilai tukar petani (terms of trade) yang merefleksikan kelangkaan (Lynn, 2003).

Tenaga kerja sektor pertanian identik dengan tenaga kasar yang tidak membutuhkan pendidikan yang tinggi, sekitar 76% tenaga kerja sektor pertanian pendidikan tertinggi yang dapat ditamatkan hanya SD (Statistik Indonesia 2008, BPS). Kondisi ini masih diperburuk dengan kenyataan bahwa sebagian besar petani tinggal di wilayah perdesaan yang minim akses terhadap kesehatan dan pendidikan. Stigma ini mempertegas kondisi petani sebagai kaum marjinal yang terpinggirkan.

Karena kondisinya, petani seakan menjadi objek yang sangat potensial untuk selalu di-ekspose pada setiap pidato kapanye parpol. Janji-janji politik selalu dilontarkan, dari usaha menekan harga sembako, tidak menaikkan harga BBM, sampai dengan menekan penduduk miskin. Janji-janji itu mengalir begitu derasnya bak “air bah Situ Gintung” yang kemudian menenggelamkan sejuta harapan rakyat dan entah kapan harapan itu akan terwujud. Semoga petani tidak hanya menjadi idola konsumsi politik saat masa kampanye yang kemudian setelahnya menjadi kaum yang terluka dan terlupakan.

*) Penulis bekerja di BPS dan tulisan ini adalah ekspresi opini pribadi.

(dimuat di harian INDOPOS)