Wednesday, August 10, 2011

Nasib Petani yang “Terlu(pa)ka(n)”

Oleh Ade Afzan

Petani, khususnya di Indonesia, selalu mendapat predikat golongan akar rumput dalam piramida strata ekonomi. Mempunyai jumlah populasi yang banyak dengan pendapatan yang relatif kecil, pendidikan yang rendah, kondisi perumahan yang memilukan, dan minimnya akses terhadap fasilitas kesehatan selalu akrab di telinga kita saat membicarakan masalah petani.

Apakah menjadi suatu hal yang mustahil jika petani dapat hidup enak dengan pendapatan yang tinggi, tingkat pendidikan tinggi, dan segala bentuk kesejahteraan yang memang selayaknya mereka dapatkan sebagai suatu kaum yang selalu meluangkan diri untuk menyediakan “makanan” bagi kaum yang lain.

Pertanian dan Pembangunan Ekonomi

Salah satu karakteristik dalam pembangunan ekonomi adalah pergeseran jangka panjang populasi dan produksi dari sektor pertanian menjadi sektor industri dan sektor jasa. Hanya sebagian kecil masyarakat dalam negara industri yang hidup dari sektor pertanian (Lynn, 2003). Pembangunan ekonomi pada negara-negara maju, merupakan lanjutan dari keberhasilan proses pembangunan pertanian. Jepang dan Taiwan, sebagai model negara maju Asia, mendahului keberhasilannya pada pertanian yang kemudian diikuti kemajuan industri.

Di Indonesia, sebagai negara yang sedang berkembang, pertanian mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi. Pertama, pertanian sebagai penyedia suplai pangan nasional. Peran ini sebenarnya hanya peran bawaan dari produk yang dihasilkan pertanian, namun peran ini menjadi kunci dari pembangunan ekonomi suatu negara. Suplai pangan yang lancar dengan kualitas yang unggul, tentunya akan menciptakan kualitas SDM yang unggul sebagai modal dalam pembangunan ekonomi.

Kedua, sebagai penyedia kesempatan kerja. Indonesia, sampai detik ini masih menyandang gelar sebagai negara agraris dengan sebagian besar penduduknya bekerja pada sektor pertanian, yaitu sekitar 41% dari total tenaga kerja Indonesia (Statistik Indonesia 2008, BPS). Kondisi ini tentunya bisa dipandang sebagai modal yang kuat untuk menapakkan kaki menuju ketahanan pangan nasional. Tapi di sisi lain, perhatian yang lebih juga harus diberikan, mengingat jumlah tenaga kerja pertanian yang banyak tanpa diimbangi dengan kompensasi yang berimbang pada petani akan menyebabkan pergeseran tenaga kerja pada sektor lain yang lebih menjanjikan.

Upah tenaga kerja sektor pertanian dapat pula mengalami fenomena “inflasi upah”. Yaitu keadaan dimana terjadi permintaan dan penawaran yang tidak berimbang antara kebutuhan tenaga kerja pertanian dan ketersediaannya. Sementara kebutuhan pangan selalu ada, selama manusia masih ada, yang berarti kebutuhan akan tenaga pertanian juga ada, tapi tidak diimbangi dengan ketersediaan tenaga pertanian yang memadai.

Ketiga, penyumbang pada konsumsi produk industri. Perkembangan pertanian modern mengarah pada penggunaan produk-produk industri sebagai katalisator yang mempercepat proses produksi pertnian. Pola ini sebenarnya adalah bentuk simbiosis mutualisme antara sektor pertanian dan industri, dimana percepatan pembangunan industri yang berimbang dengan sektor pertanian akan menjadi kekuatan handal dalam mendongkrak pembangunan ekonomi nasional. Sehingga bisa dipahami bahwa sektor pertanian bukan hanya sekadar “batu loncatan” untuk menuju sektor industri.

Keempat, sebagai penyumbang ekspor. Data BPS menunjukkan ekspor hasil pertanian menyumbangkan peran 4,50 persen terhadap total ekspor periode Januari-Februari 2009, atau senilai US$ 640,4 juta.. Kemudian yang perlu menjadi catatan adalah peningkatan nilai ekspor hasil pertanian sebesar 2,42 persen dibanding periode yang sama tahun 2008, dimana komoditas lain mengalami penurunan ekspor ternyata komoditas pertanian masih mengalami kontraksi positif walau hanya sedikit.

Objek Kampanye

Posisi tawar yang tinggi dari sektor pertanian seakan tidak diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan petani. Nilai Tukar Petani (NTP) Februari 2009, walau mengalami kenaikan 0,48% dibanding bulan sebelumnya, tapi nilainya (98,77) masih di bawah 100, yang mengindikasikan petani mengalami defisit, dimana kenaikan harga produksi relatif lebih kecil dibanding dengan kenaikan harga barang konsumsinya. Memang dilihat dari siklus tahunannya nilai ini wajar karena bertepatan dengan masa panen dan mungkin imbas dari krisis global, tapi tentunya akan menjadi harapan besar bagi petani agar harga yang tercipta dari mekanisme pasar akan bisa lebih stabil. Supaya pertanian tetap menarik dibutuhkan kenaikan atau stabilitas nilai tukar petani (terms of trade) yang merefleksikan kelangkaan (Lynn, 2003).

Tenaga kerja sektor pertanian identik dengan tenaga kasar yang tidak membutuhkan pendidikan yang tinggi, sekitar 76% tenaga kerja sektor pertanian pendidikan tertinggi yang dapat ditamatkan hanya SD (Statistik Indonesia 2008, BPS). Kondisi ini masih diperburuk dengan kenyataan bahwa sebagian besar petani tinggal di wilayah perdesaan yang minim akses terhadap kesehatan dan pendidikan. Stigma ini mempertegas kondisi petani sebagai kaum marjinal yang terpinggirkan.

Karena kondisinya, petani seakan menjadi objek yang sangat potensial untuk selalu di-ekspose pada setiap pidato kapanye parpol. Janji-janji politik selalu dilontarkan, dari usaha menekan harga sembako, tidak menaikkan harga BBM, sampai dengan menekan penduduk miskin. Janji-janji itu mengalir begitu derasnya bak “air bah Situ Gintung” yang kemudian menenggelamkan sejuta harapan rakyat dan entah kapan harapan itu akan terwujud. Semoga petani tidak hanya menjadi idola konsumsi politik saat masa kampanye yang kemudian setelahnya menjadi kaum yang terluka dan terlupakan.

*) Penulis bekerja di BPS dan tulisan ini adalah ekspresi opini pribadi.

(dimuat di harian INDOPOS)

No comments:

Post a Comment