Wednesday, August 10, 2011

Momentum Perubahan Ketenagakerjaan

Oleh Ade Afzan *)

Perdebatan calon orang nomor 1 di negeri ini sudah memasuki area hangat-hangat kuku. Berbagai pemaparan visi dan misi mulai dikumandangkan dalam meraih simpati massa. Salah satu topik yang hangat dibicarakan adalah ketenagakerjaan, yang seakan hanya menjadi bahan pembicaraan di meja makan, tanpa ada perubahan mendasar dalam mengatasinya. Momentum lima tahunan adalah waktu yang tepat untuk melakukan perubahan mendasar dalam mengentaskan ketidakberdayaan tenaga kerja di negeri ini.

Tenaga Kerja yang Rentan

Indonesia memiliki karakter ketenagakerjaan yang unik dengan kondisi yang beragam. Sampai saat ini pekerja yang mendominasi pasar tenaga kerja nasional adalah pekerja informal yang mancapai 69,49 persen dari total penduduk yang bekerja (BPS, Februari 2009). Pekerja informal adalah mereka yang mempunyai status bekerja sebagai pekerja bebas (baik pertanian atau non pertanian), berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap, dan termasuk dalam kategori ini adalah pekerja keluarga.

Pekerja informal di Indonesia mempunyai karakteristik yang unik dengan tingkat pendidikannya yang rendah. Bisa dikatakan sektor informal ini adalah pelarian dari mereka yang tidak dapat masuk pada sektor formal atau bisa dibilang karena keterpaksaan sehingga mereka masuk sektor informal. Hal ini dapat menjelaskan fenomena kenaikan pengangguran yang tertahan pada kondisi global economic slowdown. Pekerja yang terkena imbas penurunan ekonomi akan cenderung beralih pada pekerjaan seadanya untuk menghidupi ekonomi keluarga, yang dengan terpaksa masuk pada pekerja informal.

Permasalahan ketenagakerjaan tidak terbatas pada jumlahnya, secara kualitas pekerja dengan pendidikan SD ke bawah masih tetap tinggi, data BPS menyebutkan pada Februari 2009 jumlahnya masih sekitar 55,05 juta orang atau sekitar 53,05 persen. Kualitas tenaga kerja yang rendah tentunya harus menjadi perhatian yang serius dari pemerintah sehingga ekspor tenaga kerja kita tidak hanya sebatas pada pengiriman pekerja kasar demi sekadar mendapatkan tambahan devisa, melainkan lebih mengarah pada ekspor pekerja profesional yang selain menambah devisa juga menjadi kebanggaan bagi bangsa.

Dalam teori ekonomi, manusia lebih cenderung diartikan sebagai modal (human capital) untuk memproduksi suatu output/produk. Hal ini didasarkan pada fungsi kodrati manusia sebagai individu mahluk sosial yang diberikan akal dan pikiran sehingga dapat mengelola, mengatur, dan menguasai berbagai modal lain untuk mendukung terciptanya output yang diinginkannya. Posisi manusia sebagai pengelola dari modal ekonomi yang lain, tentunya bukan posisi yang sembarangan. Posisi ini membutuhkan berbagai keahlian dan kompetensi dalam menjalankannya. Manusia yang berkeahlian dan kompetensi rendah tentunya tidak akan dapat mengelola berbagai modal yang ada.

Senada dengan hal di atas, teori sosial kependudukan menempatkan penduduk pada suatu negara sebagai modal dalam pembangunan. Indonesia, dengan jumlah penduduk yang lebih dari 230 juta, mempunyai tugas yang berat untuk menjadikannya sebagai modal dalam pembangunan, sebagai pengelola yang berkeahlian dan kompetensi tinggi. Kegagalan dalam perencanaan kependudukan akan menjadikan semakin banyaknya modal manusia yang kemudian menjadi beban tanggungan dalam pembangunan. Hal inilah yang mendasari pentingnya program perencanaan kependudukan pada suatu negara. Program kependudukan berpijak pada data kependudukan yang selama ini dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) berupa pendataan penduduk lengkap yang sering disebut sebagai sensus penduduk. Pada 2010, BPS akan kembali menyelenggarakan Sensus Penduduk yang akan menjadi dasar pijakan berbagai program pemerintah selama sepuluh tahun berikutnya.

Pemberdayaan Ke-Bhinekaan

Berbagai masalah ketenagakerjaan nasional pada dasarnya berawal dari dua hal pokok, yaitu kependudukan dan pendidikan. Pertama, masalah kependudukan dengan jumlah penduduk yang berlimpah dapat dipandang sebagai modal jika di-mantain dengan baik, dan jika diperlakukan sebaliknya maka penduduk dapat menjadi beban bagi pembangunan.

Kedua, masalah krusial yang perlu menjadi perhatian serius adalah ”gap” yang terjadi antara dunia kerja dan pendidikan yang tercermin dari tingginya angka pengangguran terdidik di Indonesia. Sebenarnya sungguh aneh anggapan bahwa kesempatan kerja di negeri ini kurang. Nyatanya, banyak perusahaan yang rela mengeluarkan cost untuk iklan lowongan kerja. Kenapa mereka (perusahaan) tidak langsung comot saja para lulusan sarjana, bukankah banyak sekolah-sekolah dan perguruan tinggi di negeri ini. Kenapa hal ini terjadi, sebenarnya disebabkan oleh ketidaksiapan output pendidikan untuk dapat langsung dipakai dalam dunia kerja, sehingga terciptalah cost tambahan untuk pelatihan tenaga kerja baru.

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam, orang Jawa bilang gemah ripah loh jinawi. Sumber daya alam ini adalah sumber yang bhineka dengan tersebarnya potensi pada ribuan pulau di Indonesia. Setiap propinsi memiliki keunggulan masing-masing yang berbeda satu dengan lainnya, misal Bangka dengan timahnya, Jawa dengan potensi pertaniannya dsb. Dengan potensi sedemikian besar dimiliki Indonesia, sebenarnya mustahil kita punya pengangguran di negeri ini.

Kondisi yang beragam ini menjadi penentu kebutuhan SDM yang beragam juga. Wilayah dengan potensi pertanian tentunya akan lebih efektif jika mengembangkan SDM pada bidang pertanian. Wilayah dengan potensi pertambangan, akan lebih efektif jika mengembangkan SDM pada bidang pertambangan. Bayangkan seandainya setiap wilayah di negeri ini mampu mengenali dan menggali potensi daerahnya kemudian mampu menciptakan para ahli sesuai dengan potensi daerahnya masing-masing, yang harapan akhirnya adalah tidak akan ada lagi tenaga kerja yang kehilangan ”tenaga” kemudian menyerah pasrah tidak berdaya karena tidak punya daya saing yang tinggi.

(Dimuat di Harian IndoPos)


No comments:

Post a Comment